Senin, 02 Maret 2009

Puasa Sebagai Sarana Pengendalian Diri Menuju Kesuksesan

Oleh: Muhammad Nuh Sholeh

Salah satu kelemahan manusia ialah pandangannya yang pendek. Allah berfirman: “Sekali-kali janganlah demikian. Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia, Dan meninggalkan (kehidupan) akhirat.”

Karenanya kita gampang tergoda terhadap hal-hal yang kurang hakiki. Dosa, tidak lain adalah demikian, sesuatu yang dalam jangka pendek membawa kesenangan, tetapi dalam jangka panjang membawa kehancuran. Ini dikarenakan efek kelemahan manusia yang tidak sanggup melihat akibat perbuatannya dalam jangka panjang. Jadi kelemahan manusia adalah mudah tergoda, tidak memiliki pengendalian diri yang kuat.

Dalam hal ini kita dapat menengok sejarah Nabi Adam dan Ibu Hawa. Seperti dikisahkan dalam Al Qur’an, Adam & Hawa telah diberi karunia dan diberkahi berbagai kenikmatan yang melimpah, dan diberi kemudahan untuk memakan segala buah-buahan di alam syurga, kecuali “Syajaratul Khuldi” atau “pohon keabadian”. Al Qur’an mengisahkan: Dan kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. Allah memerintahkan Adam & Hawa menahan diri dan tidak mendekati “buah terlarang”. Namun, karena mereka tidak mampu menahan diri dari dorongan nafsu syetan, dan keduanya tergoda janji palsu akan hidup abadi dan memiliki kekuasaan bakal bertahan sepanjang zaman, maka mereka terusir dari syurga, tersungkur jatuh ke dalam hidup hina, penuh derita dan nestapa. Kitab suci Al Qur’an dengan jelas menggambarkan hal ini.

Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi (pohon kekekalan) dan kerajaan yang tidak akan binasa?"

Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya Maka dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk. Kisah Nabi Adam & Hawa menjelaskan bahwa sejak awal sejarahnya, umat manusia telah diperintahkan untuk mampu menahan dan mengendalikan diri sendiri dari berbagai bentuk kezaliman dan kemaksiyatan.

Puasa sebagai upaya pengendalian diri

Agar manusia mampu memiliki pengendalian diri yang baik, Allah memberi sarananya melalui perintah berpuasa. Puasa yang dalam bahasa Arab disebut ”shawama” yang bermakna “menahan”, “berhenti” atau “tidak bergerak”, secara hakiki mengandung arti “menahan dan mengendalikan diri”. Puasa bertujuan untuk mengatasi kelemahan yang paling mendasar dari manusia, yakni kecenderungan untuk bertindak berdasarkan dorongan nafsu semata. Kemampuan seseorang untuk secara terus menerus menahan diri dari makan, minum dan hubungan suami istri di siang hari, menunjukkan bahwa ia telah dapat mengendalikan keinginannya, walaupun tubuh terus-menerus menuntut dipenuhinya dorongan-dorongan biologis. Tetapi puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus. Ia juga merupakan usaha untuk menahan diri dari segala dorongan untuk melakukan tindakan yang merusak.

Demikianlah, kita mendapati suatu pelajaran berharga dari ibadah puasa di bulan Ramadhan, yaitu sebuah latihan atau training untuk menjadi manusia yang mampu mengendalikan diri. Sehingga setelah bulan Ramadhan berlalu, kita telah siap menghadapi tantangan hidup yang nyata yang salah satu aspek penting yang dibutuhkan adalah kemampuan mengendalikan diri. Manusia yang mampu mengendalikan diri, adalah manusia yang mampu berpandangan jauh ke depan, yaitu sanggup menunda kenikmatan jasmani yang bersifat sesaat atau sementara, dalam rangka investasi atau menanam saham kenikmatan yang lebih agung dan sejati di masa depan. Manusia sebenarnya sudah tahu bahwa hal-hal yang bersifat jasmani itu tak akan kekal, tetapi anehnya dorongan manusia untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya seringkali menjadi hal yang utama. Sehingga nabi Muhammad menyindir mereka dengan sindiran yang keras: “Akan datang suatu zaman yang dihadapi oleh manusia, di mana perhatian mereka adalah perut-perut mereka (makan & minum dengan lezatnya); ukuran kemuliaan mereka adalah harta-harta atau materi; kiblat mereka adalah seks, dan agama mereka (yang disanjung-sanjung dan diutamakan oleh mereka) adalah kekayaan harta emas dan perak. Mereka itu adalah sejelek-jelek makhluq dan mereka tidak akan memperoleh keuntungan dan kebahagiaan di sisi Allah swt”

Apa yang diucapkan oleh Nabi di atas sekarang menjadi kenyataan. Kalau kita mau mengamati dengan cermat mengapa di negeri kita masih saja terjadi berbagai persoalan rumit, maka akar persoalan dari semua itu adalah pandangan yang sempit dan ketidakmampuan menahan diri. Terutama yang dilakukan oleh mereka yang memegang kekuasaan. Karena nafsu serakah, tanpa memperhatikan bahwa perbuatan curang terhadap negara akan merugikan masyarakat secara luas, banyak para penguasa yang mencuri kekayaan negara. Banyaknya kasus remaja yang melakukan tindakan layaknya suami istri padahal mereka belum diikat oleh ikatan pernikahan, disebabkan karena pandangan yang sempit dan sesaat untuk memenuhi bisikan nafsu hayawaniyah yang ada pada diri mereka; banyaknya fakir miskin yang kurang mendapat perhatian dan kepedulian dari para aghniya’. Ini juga disebabkan karena rakusnya orang-orang kaya terhadap harta, mereka kikir dan tak mau peduli terhadap pemecahan problema sosial. Puasa memberikan penyadaran kepada kita untuk menahan diri dari hal-hal yang sifatnya sementara. Kalau para penguasa mau menahan diri dari perbuatan curangnya, dan mau menyadari bahwa kekayaan negara adalah untuk semua warga negara, bukan untuk diri pribadi, Insya Allah krisis yang kita alami akan berangsur menghilang. Kalau para remaja mau menahan diri dari memperturutkan nafsu hayawaniyah, niscaya masa depan mereka akan lebih baik dan beradab, dan mereka tidak direpoti oleh urusan-urusan yang belum waktunya mereka urus. Kalau orang kaya sanggup menahan nafsu serakahnya dan sadar bahwa dalam harta di genggamannya terdapat hak fakir miskin, niscaya ketimpangan sosial tidak menjadi kian parah. Kalau orang kaya sanggup menomorduakan sifat kikirnya, maka segala kegiatan untuk kebaikan umat Islam, tak akan sampai kesulitan dalam soal pendanaan. Apa yang telah diuraikan tadi membuktikan betapa pentingnya pengendalian diri. Puasa ramadhan yang sedang kita laksanakan memberikan pembelajaran yang demikian.

Pengendalian diri dan hidup sukses.

Agar kita lebih mantap dalam menghayati pentingnya pengendalian diri, marilah kita lihat sebuah bukti dari hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat. Sebuah percobaan penting pernah dilakukan di Stanford University pada tahun 1960-an, dimana anak-anak pra sekolah yang berusia 4 tahun dites kemampuannya untuk menahan godaan. Oleh penguji, sekotak marsmellow (manisan) diletakkan di dalam ruangan di mana anak-anak itu berada, lalu penguji itu meninggalkan mereka. Kepada anak-anak itu diberitahu bahwa mereka boleh segera mengambilnya sebuah. Namun jika mereka mau menunggu sampai penguji datang kembali, mereka boleh mengambil dua manisan sekaligus. Banyak di antara anak-anak tersebut yang segera mengambil satu dan memakannya, namun ada beberapa anak yang bersedia menunggu untuk memperoleh dua manisan. Anak-anak tersebut diikuti perkembangannya sampai mereka berusia 14 tahun, untuk melihat bagaimana mereka menjalani hidup. Anak-anak yang mampu menahan godaan pada usia 4 tahun, pada saat mereka remaja ternyata memiliki kecakapan sosial seperti orang dewasa, yaitu secara pribadi lebih matang, tegas, dan lebih mampu menghadapi frustrasi (perasaan putus asa). Namun sepertiga atau lebih dari mereka yang tergoda untuk mengambil manisan pada kesempatan pertama, cenderung memiliki kualitas pribadi yang lebih rendah dan secara kejiwaan mereka relatif lebih bandel. Yang lebih menakjubkan, mereka yang pada usia 4 tahun mau menunggu secara sabar, akhirnya tumbuh menjadi siswa yang lebih unggul dari anak-anak lain. Hasil penelitian tadi membuktikan bahwa tidak ada ketrampilan kejiwaan yang lebih mendasar selain ketrampilan menahan diri. Kemampuan menahan diri ini merupakan akar dari seluruh ketrampilan pengendalian emosi diri, karena semua emosi, secara alamiah, mengarah kepada satu atau lebih dorongan untuk bertindak. Di dalam keluarga, jika orang tua selalu mengizinkan segala sesuatu yang diinginkan anak, dan selalu memberi segala sesuatu yang diminta anak, maka kemampuan mengendalikan diri si anak cenderung sangat rendah. Orang yang memiliki pengendalian diri yang baik, maka ia akan mampu meraih predikat manusia yang bertaqwa (muttaqin), yaitu predikat tertinggi dalam prosesi keagamaan kita. Mengapa? Salah satu tanda orang yang bertaqwa adalah orang yang beriman kepada Allah dalam kegaiban. Dalam keadaan kita tidak melihat-Nya dengan mata kepala kita, namun kita menyadari kehadiran-Nya dalam hidup kita. Maka jika kita masih melanggar batas dalam kegaiban, maka sesungguhnya kita tidak beriman. Kata Nabi “orang tidak akan berbuat dosa selagi ia beriman”. Artinya dia memiliki pengendalian diri yang baik. Jadi melalui pengendalian diri yang baik akan dapat dicapai taqwa. Melalui taqwa kita menyadari akan keberadaan dan kehadiran Allah dalam hidup ini. dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. Kesadaran bahwa Allah selalu beserta kita mempunyai efek atau pengaruh yang besar sekali dalam hidup kita.

Pertama kesadaran itu memberikan kemantapan hidup, bahwa kita ini tidak pernah sendirian. Kita selalu bersama Tuhan. Oleh karena itu kita tidak akan takut menempuh hidup ini. Sikap kita dalam hidup adalah: Cukuplah bagi kita itu Allah, dan Dialah sebaik-baik tempat bersandar.

Kemudian dampak yang kedua, bahwa dengan kesadaran hadirnya Allah dalam hidup kita, dan segala sesuatu yang kita kerjakan menurut kesadaran bahwa Allah mengawasi dan memperhitungkan perbuatan kita, maka kita akan dibimbing ke arah budi pekerti luhur, ke arah akhlaqul karimah. Mengapa ? Karena kalau kita menyadari bahwa Allah selalu hadir dalam hidup kita, maka tentunya kita tidak akan melakukan sesuatu yang sekiranya tidak mendapat perkenan dari Dia, tidak mendapat ridho dari Dia. Alangkah eloknya kehidupan masyarakat kita, manakala kita selalu merasakan kehadiran Tuhan di sisi kita. Kita menjadi merasa terawasi sehingga kita menjadi lebih berhati-hati jangan sampai kita terjebak untuk berbuat yang di luar tuntunan Allah.

Muhammad Nuh Sholeh
mhm_nuh@yahoo.co.id

Tidak ada komentar: