Kamis, 27 Maret 2008

Steven Covey : Istirahat adalah bagian dari hidup yang teratur

Subject: Fw: Jika kita memegangnya selama 1 menit...


Pada saat memberikan kuliah tentang Manajemen
Stress, Steven Covey mengangkat segelas air dan bertanya
kepada para siswanya:
"Seberapa berat menurut anda kira segelas air
ini?" Para siswa menjawab mulai dari 200 gr sampai 500 gr.
"Ini bukanlah masalah berat absolutnya, tapi tergantung berapa lama anda memegangnya. " kata
Covey. "Jika saya memegangnya selama 1 menit, tidak ada
masalah. Jika saya memegangnya selama 1 jam, lengan kanan
saya akan sakit. Dan jika saya memegangnya selama 1 hari penuh, mungkin anda
harus memanggilkan ambulans untuk saya. Beratnya sebenarnya sama, tapi semakin
lama saya memegangnya, maka bebannya akan semakin berat." "Jika kita membawa beban kita terus menerus, lambat laun kita tidak
akan mampu membawanya lagi. Beban itu akan meningkat
beratnya." lanjut Covey.
"Apa yang harus kita lakukan adalah meletakkan gelas
tersebut, istirahat sejenak sebelum mengangkatnya lagi".
Kita harus meninggalkan beban kita secara periodik, agar kita dapat lebih segar dan mampu membawanya lagi.
Jadi sebelum pulang ke rumah dari pekerjaan sore ini, tinggalkan beban pekerjaan. Jangan bawa pulang.Beban itu dapat diambil lagi besok. Apapun beban yang ada di pundak anda hari ini, coba tinggalkan sejenak jika bisa. Setelah beristirahat nanti dapat diambil lagi......
Hidup ini singkat, jadi cobalah menikmatinya dan memanfaatkannya. Hal terindah dan terbaik di dunia ini tak dapat dilihat, atau disentuh, tapi dapat dirasakan jauh di relung hati kita


Best Regards,



Vicky Tjong
MU-PUR FF and RS Raw Material
__________________________________
Bayer MaterialScience Indonesia
Mid Plaza 1 11 floor, Jl. Jend.
Sudirman Kav. 10-11
Jakarta 10220, Indonesia
Tel : (62) (21) 573 4006 Ext
1103
Fax: (62) (21) 573 4902
DID (62) (21) 573 4886
email: vicky.tjong@bayermaterialscience.com

Minggu, 23 Maret 2008

Si Tukang Kayu

SI TUKANG KAYU

Seorang tukang kayu tua bermaksud pensiun dari pekerjaannya di sebuah perusahaan konstruksi real estate. Ia menyampaikan keinginannya tersebut pada pemilik perusahaan. Tentu saja, karena tak bekerja, ia akan kehilangan penghasilan bulanannya, tetapi keputusan itu sudah bulat. Ia merasa lelah. Ia ingin beristirahat dan menikmati sisa hari tuanya dengan penuh kedamaian bersama istri dan keluarganya.

Pemilik perusahaan merasa sedih kehilangan salah seorang pekerja terbaiknya. Ia lalu memohon pada tukang kayu tersebut untuk membuatkan sebuah rumah untuk dirinya.

Tukang kayu mengangguk menyetujui permohonan pribadi pemilik perusahaan itu. Tapi, sebenarnya ia merasa terpaksa. Ia ingin segera berhenti. Hatinya tidak sepenuhnya dicurahkan. Dengan ogah-ogahan ia mengerjakan proyek itu. Ia cuma menggunakan bahan-bahan sekedarnya.

Akhirnya selesailah rumah yang diminta. Hasilnya bukanlah sebuah rumah baik. Sungguh sayang ia harus mengakhiri kariernya dengan prestasi yang tidak begitu mengagumkan.

Ketika pemilik perusahaan itu datang melihat rumah yang dimintanya, ia menyerahkan sebuah kunci rumah pada si tukang kayu. "Ini adalah rumahmu," katanya, "hadiah dari kami."

Betapa terkejutnya si tukang kayu. Betapa malu dan menyesalnya. Seandainya saja ia mengetahui bahwa ia sesungguhnya mengerjakan rumah untuk dirinya sendiri, ia tentu akan mengerjakannya dengan cara yang lain sama sekali. Kini ia harus tinggal di Sebuah rumah yang tak terlalu bagus hasil karyanya sendiri.

Itulah yang terjadi pada kehidupan kita. Kadangkala, banyak dari kita yang membangun kehidupan dengan cara yang membingungkan. Lebih memilih berusaha ala kadarnya ketimbang mengupayakan yang baik. Bahkan, pada bagian-bagian terpenting dalam hidup kita tidak memberikan yang terbaik. Pada akhir perjalanan kita terkejut saat melihat apa yang telah kita lakukan dan menemukan diri kita hidup di dalam sebuah rumah yang kita ciptakan sendiri.

Seandainya kita menyadarinya sejak semula kita akan menjalani hidup ini dengan cara yang jauh berbeda.

Renungkan bahwa kita adalah si tukang kayu. Renungkan rumah yang sedang kita bangun. Setiap hari kita memukul paku, memasang papan, mendirikan dinding dan atap. Mari kita selesaikan rumah kita dengan sebaik-baiknya seolah-olah hanya mengerjakannya sekali saja dalam seumur hidup. Biarpun kita hanya hidup satu hari, maka dalam satu hari itu kita pantas untuk hidup penuh keagungan dan kejayaan.

Apa yang bisa diterangkan lebih jelas lagi.

Hidup kita esok adalah akibat sikap dan pilihan yang kita perbuat hari ini. Hari perhitungan adalah milik Tuhan, bukan kita, karenanya pastikan kita pun akan masuk dalam barisan kemenangan.

"Hidup adalah proyek yang kau kerjakan sendiri".

Berkaca Pada Sebuah Pensil

MART EMOTION
ANTONI DIO MARTIN
Berkaca Pada Sebuah Pensil
18 September 2008

INTISARI

Belajar mengenai kehidupan bisa kita lakukan dari siapapun dan apapun termasuk dari sebuah pensil. Nilai filosofis dari sebatang pensil bisa kita pakai untuk menguatkan kita kala kita sedang lemah. Berikut adalah cerita mengenai pensil yang akan segera dibungkus dan dijual ke pasar. Ketika akan dijual kepasaran pensil itu dinasihati mengenai tugas yang akan diembannya. Maka, beberapa wejangan pun diberikan kepada pensil. Ada lima wejangan yang diberikan kepada pensil bahwa tugasnya yang pertama dan utama adalah membantu orang sehingga memudahkan mereka menulis. Kalau gagal berfungsi sebagai alat tulis seperti macet atau rusak maka tugas utama itu gagal dilakukan.

Kemudian nanti di tengah pemakaian pensil pasti akan mengalami proses penajaman yang memang meyakitkan, tapi itulah yang akan membuat pensil menjadi berguna dan berfungsi optimal. Lalu pensil itu juga diingatkan bahwa yang penting pada dirinya bukanlah yang ada di luar pensil. Yang utama dan yang paling berguna adalah yang ada di dalam diri. Itulah yang membuat diri berharga dan berguna bagi manusia.

Pensil juga tidak bisa berfungsi sendirian. Agar bisa berguna dan bermanfaat, maka pensil harus membiarkan diri bekerja sama dengan manusia yang menggunakannya. Terakhir, apa yang telah dihasilkan itulah yang menunjukkan seberapa hebatnya diri pensil yang sesungguhnya. Bukanlah pensil utuh yang dianggap berhasil, melainkan pensil – pensil yang telah membantu menghasilkan karya terbaik, yang berfungsi hingga potongan terpendek. Itulah yang tujuan sebenarnya pensil dibuat.

Filosofi pensil ini mengingatkan kita akan tujuan dan misi kita berada di dunia ini. Kita berada dan diciptakan ataupun dilahirkan di dunia ini dengan suatu sebab. Yang jelas, ada sebuah tujuan dalam diri kita yang perlu untuk digenapi dan diselesaikan. Kehidupan kita juga diartikan untuk menjadi berguna dan bermanfaat serta positif bagi orang-orang di sekitar kita, minimal untuk orang-orang terdekat. Jika tidak, maka kita tidak berguna Seperti halnya pensil kita juga akan mengalami proses penajaman sehingga kita bisa berguna optimal.

Karenanya tatkala kesulitan, hambatan ataupun tantangan datang, syukurilah karena itu semua berguna dan bermanfaat, sehingga kita selalu belajar darinya untuk menjadi lebih baik. Ingatlah Donald Trump yang sempat diguncang masalah finansial dan nyaris bangkrut. Namun, kebangkrutannya itulah yang justru menjadi pelajaran dan motivasi baginya untuk sukses lebih langgeng. Kadang penajaman itu 'sakit'. Namun, itulah yang justru akan memberikan kesempatan kita mengeluarkan yang terbaik.

Ketiga, bagian internal diri kitalah yang akan berperan. Saya sering menyaksikan banyak artis, ataupun bintang film yang terkenal yang sukses karena kemampuan dalam diri mereka. Filosofi serta semangat merekalah yang membuat mereka menjadi luar biasa. Demikian pula pada diri kita. Pada akhirnya, apa yang ada di dalam diri kita seperti karakter, kemampuan, bakat, motivasi, semangat, pola pikir itulah yang akan lebih berdampak daripada tampilan luar diri kita.

Keempat agar kita berfungsi dengan baik maka kita harus belajar tunduk, dimana kita harus tahu kapan kita harus dapat bekerjasama dengan orang lain dan kapan kita harus bermain sendiri.

Terakhir dalam filosofi pensil dikatakan bahwa kita harus meninggalkan warisan yang berharga, meskipun kecil tapi hasil karya adalah luar biasa.

Semoga bagian dari filosofi ini menguatkan kita hingga menjadi pribadi yang bisa berkontribusi pada dunia dan berguna.(hac-ant)

Antusiasme adalah induk dari segala usaha tanpa antusiasme tidak banyak hal besar yang bias kita raih di dunia ini. Ralph Waldo Emerson

Sabtu, 22 Maret 2008

Takut Miskin di Akherat

Takut Miskin di Akherat
Mengingat harga-harga barang kebutuhan terus meningkat, seorang pemuda selalu mengeluh karena tak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah berdiskusi dengan seorang kiai makrifat, pemuda itu pun mengikuti anjurannya untuk menjalankan shalat Hajat serta tetap istiqomah melaksanakan shalat wajib lima waktu.
''Pak Kiai, tiga tahun sudah saya menjalankan ibadah sesuai anjuran Bapak. Setiap hari saya shalat Hajat semata-mata agar Allah SWT melimpahkan rezeki yang cukup. Namun, sampai saat ini saya masih saja miskin,'' keluh si pemuda.
''Teruskanlah dan jangan berhenti, Allah selalu mendengar doamu. Suatu saat nanti pasti Allah mengabulkannya. Bersabarlah!'' Jawab sang kiai.
''Bagaimana saya bisa bersabar, kalau semua harga kebutuhan serba naik! Sementara saya masih juga belum mendapat rezeki yang memadai. Bagaimana saya bisa memenuhi kebutuhan hidup?''
''Ya tentu saja tetap dari Allah, pokoknya sabar, pasti ada jalan keluarnya. Teruslah beribadah.''
''Percuma saja Pak Kiai. Setiap hari shalat lima waktu, shalat Hajat, shalat Dhuha, tapi Allah belum juga mengabulkan permohonan saya. Lebih baik saya berhenti saja beribadah...'' jawab pemuda itu dengan kesal.
''Kalau begitu, ya sudah. Pulang saja. Semoga Allah segera menjawab permintaanmu,'' timpal kiai dengan ringan.
Pemuda itu pun pulang. Rasa kesal masih menggelayuti hatinya hingga tiba di rumah. Ia menggerutu tak habis-habisnya hingga tertidur pulas di kursi serambi. Dalam tidur itu, ia bermimpi masuk ke dalam istana yng sangat luas, berlantaikan emas murni, dihiasi dengan lampu-lampu terbuat dari intan permata. Bahkan beribu wanita cantik jelita menyambutnya. Seorang permaisuri yang sangat cantik dan bercahaya mendekati si pemuda.
''Anda siapa?'' tanya pemuda.
''Akulah pendampingmu di hari akhirat nanti.''
''Ohh... lalu ini istana siapa?''
''Ini istanamu, dari Allah. Karena pekerjaan ibadahmu di dunia.''
''Ohh... dan taman-taman yang sangat indah ini juga punya saya?''
''Betul!''
''Lautan madu, lautan susu, dan lautan permata juga milik saya?''
''Betul sekali.''
Sang pemuda begitu mengagumi keindahan suasana syurga yang sangat menawan dan tak tertandingi. Namun, tiba-tiba ia terbangun dan mimpi itu pun hilang. Tak disangka, ia melihat tujuh mutiara sebesar telor bebek. Betapa senang hati pemuda itu dan ingin menjual mutiara-mutiara tersebut. Ia pun menemui sang kiai sebelum pergi ke tempat penjualan mutiara.
'Pak Kiai, setelah bermimpi saya mendapati tujuh mutiara yang sangat indah ini. Akhirnya Allah menjawab doa saya,'' kata pemuda penuh keriangan.
''Alhamdulillah. Tapi perlu kamu ketahui bahwa tujuh mutiara itu adalah pahala-pahala ibadah yang kamu jalankan selama 3 tahun lalu.''
''Ini pahala-pahala saya? Lalu bagaimana dengan syurga saya Pak Kiai?''
''Tidak ada, karena Allah sudah membayar semua pekerjaan ibadahmu. Mudah-mudahan kamu bahagia di dunia ini. Dengan tujuh mutiara itu kamu bisa menjadi miliader.''
''Ya Allah, aku tidak mau mutiara-mutiara ini. Lebih baik aku miskin di dunia ini daripada miskin di akhirat nanti. Ya Allah kumpulkan kembali mutiara-mutiara ini dengan amalan ibadah lainnya sampai aku meninggal nanti,'' ujar pemuda itu sadar diri. Tujuh mutiara yang berada di depannya itu hilang seketika. Ia berjanji tak akan mengeluh dan menjalani ibadah lebih baik lagi demi kekayaan akhirat kelak. [dari guyon orang-orang makrifat, wibi ar].

Kamis, 20 Maret 2008

Qurban Terbaik

QURBAN TERBAIK

Oleh Jojo Wahyudi

Kuhentikan mobil tepat di ujung kandang tempat berjualan hewan Qurban. Saat pintu mobil kubuka, bau tak sedap memenuhi rongga hidungku, dengan spontan aku menutupnya dengan saputangan. Suasana di tempat itu sangat ramai, dari para penjual yang hanya bersarung hingga ibu-ibu berkerudung Majelis Taklim, tidak terkecuali anak-anak yang ikut menemani orang tuanya melihat hewan yang akan di-Qurban-kan pada Idul Adha nanti, sebuah pembelajaran yang cukup baik bagi anak-anak sejak dini tentang pengorbanan NabiAllah Ibrahim & Nabi Ismail.

Aku masuk dalam kerumunan orang-orang yang sedang bertransaksi memilih hewan yang akan di sembelih saat Qurban nanti. Mataku tertuju pada seekor kambing coklat bertanduk panjang, ukuran badannya besar melebihi kambing-kambing di sekitarnya.

" Berapa harga kambing yang itu pak ?" ujarku menunjuk kambing coklat tersebut.

" Yang coklat itu yang terbesar pak. Kambing Mega Super dua juta rupiah tidak kurang" kata si pedagang berpromosi matanya berkeliling sambil tetap melayani calon pembeli lainnya.

" Tidak bisa turun pak?" kataku mencoba bernegosiasi.

" Tidak kurang tidak lebih, sekarang harga-harga serba mahal" si pedagang bertahan.

" Satu juta lima ratus ribu ya?" aku melakukan penawaran pertama

" Maaf pak, masih jauh." ujarnya cuek.

Aku menimbang-nimbang, apakah akan terus melakukan penawaran terendah berharap si pedagang berubah pendirian dengan menurunkan harganya.

" Oke pak bagaimana kalau satu juta tujuh ratus lima puluh ribu?" kataku

" Masih belum nutup pak " ujarnya tetap cuek

" Yang sedang mahal kan harga minyak pak. Kenapa kambing ikut naik?" ujarku berdalih mencoba melakukan penawaran termurah.

" Yah bapak, meskipun kambing gak minum minyak. Tapi dia gak bisa datang ke sini sendiri. Tetap saja harus di angkut mobil pak, dan mobil bahan bakarnya bukan rumput" kata si pedagang meledek.

Dalam hati aku berkata, alot juga pedagang satu ini. Tidak menawarkan harga selain yang sudah di kemukakannya di awal tadi. Pandangan aku alihkan ke kambing lainnya yang lebih kecil dari si coklat. Lumayan bila ada perbedaan harga lima ratus ribu. Kebetulan dari tempat penjual kambing ini, aku berencana ke toko ban mobil. Mengganti ban belakang yang sudah mulai terlihat halus tusirannya. Kelebihan tersebut bisa untuk menambah budget ban yang harganya kini selangit.

" Kalau yang belang hitam putih itu berapa bang?" kataku kemudian

" Nah yang itu Super biasa. Satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah" katanya

Belum sempat aku menawar, di sebelahku berdiri seorang kakek menanyakan harga kambing coklat Mega Super tadi. Meskipun pakaian "korpri" yang ia kenakan lusuh, tetapi wajahnya masih terlihat segar.

" Gagah banget kambing itu. Berapa harganya mas?" katanya kagum

" Dua juta tidak kurang tidak lebih kek." kata si pedagang setengah malas menjawab setelah melihat penampilan si kakek.

" Weleh larang men regane (mahal benar harganya) ?" kata si kakek dalam bahasa Purwokertoan

" bisa di tawar-kan ya mas ?" lanjutnya mencoba negosiasi juga.

" Cari kambing yang lain aja kek. " si pedagang terlihat semakin malas meladeni.

" Ora usah (tidak) mas. Aku arep sing apik lan gagah Qurban taun iki (Aku mau yang terbaik dan gagah untuk Qurban tahun ini)

Duit-e (uangnya) cukup kanggo (untuk) mbayar koq mas." katanya tetap bersemangat seraya mengeluarkan bungkusan dari saku celananya. Bungkusan dari kain perca yang juga sudah lusuh itu di bukanya, enam belas lembar uang seratus ribuan dan sembilan lembar uang lima puluh ribuan dikeluarkan dari dalamnya.

" Iki (ini) dua juta rupiah mas. Weduse (kambingnya) dianter ke rumah ya mas?" lanjutnya mantap tetapi tetap bersahaja.

Si pedagang kambing kaget, tidak terkecuali aku yang memperhatikannya sejak tadi. Dengan wajah masih ragu tidak percaya si pedagang menerima uang yang disodorkan si kakek, kemudian di hitungnya perlahan lembar demi lembar uang itu.

" Kek, ini ada lebih lima puluh ribu rupiah" si pedagang mengeluarkan selembar lima puluh ribuan

" Ora ono ongkos kirime tho...?" (Enggak ada ongkos kirimnya ya?) si kakek seakan tahu uang yang diberikannya berlebih

" Dua juta sudah termasuk ongkos kirim" si pedagang yg cukup jujur memberikan lima puluh ribu ke kakek

" mau di antar ke mana mbah?" (tiba-tiba panggilan kakek berubah menjadi mbah)

" Alhamdulillah, lewih (lebih) lima puluh ribu iso di tabung neh (bisa ditabung lagi)" kata si kakek sambil menerimanya

" tulung anterke ning deso cedak kono yo (tolong antar ke desa dekat itu ya), sak sampene ning mburine (sesampainya di belakang) Masjid Baiturrohman,

takon ae umahe (tanya saja rumahnya) mbah Sutrimo pensiunan pegawe Pemda Pasir Mukti, InsyaAllah bocah-bocah podo ngerti (InsyaAllah anak-anak sudah tahu)."

Setelah selesai bertransaksi dan membayar apa yang telah di sepakatinya, si kakek berjalan ke arah sebuah sepeda tua yang di sandarkan pada sebatang pohon pisang, tidak jauh dari X-Trail milikku. Perlahan di angkat dari sandaran, kemudian dengan sigap di kayuhnya tetap dengan semangat.

Entah perasaan apa lagi yang dapat kurasakan saat itu, semuanya berbalik ke arah berlawanan dalam pandanganku.
Kakek tua pensiunan pegawai Pemda yang hanya berkendara sepeda engkol, sanggup membeli hewan Qurban yang terbaik untuk dirinya.
Aku tidak tahu persis berapa uang pensiunan PNS yang diterima setiap bulan oleh si kakek.
Yang aku tahu, di sekitar masjid Baiturrohman tidak ada rumah yang berdiri dengan mewah, rata-rata penduduk sekitar desa Pasir Mukti hanya petani dan para pensiunan pegawai rendahan.

Yang pasti secara materi, sangatlah jauh di banding penghasilanku sebagai Manajer perusahaan swasta asing.

Yang sanggup membeli rumah di kawasan cukup bergengsi.

Yang sanggup membeli kendaraan roda empat yang harga ban-nya saja cukup membeli seekor kambing Mega Super
Yang sanggup mempunyai hobby berkendara moge (motor gede) dan memilikinya

Yang sanggup mengkoleksi "raket" hanya untuk olah-raga seminggu sekali
Yang sanggup juga membeli hewan Qurban dua ekor sapi sekaligus
Tapi apa yang aku pikirkan?
Aku hanya hendak membeli hewan Qurban yang jauh di bawah kemampuanku yang harganya tidak lebih dari service rutin mobil X-Trail, kendaraanku di dunia fana. Sementara untuk kendaraanku di akhirat kelak, aku berpikir seribu kali saat membelinya.

Ya Allah, Engkau yang Maha Membolak-balikan hati manusia balikkan hati hambaMu yang tak pernah berSyukur ini ke arah orang yang pandai menSyukuri nikmatMu.

(Cikini, 12-11-07)

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

MENEBAR ILMU
Dan tegakkan sunnah

Rabu, 19 Maret 2008

Air Mata Singa Padang Pasir

Pernahkah anda membaca dalam riwayat akan Umar bin Khatab menangis? Umar bin Khatab terkenal gagah perkasa sehingga disegani lawan maupun kawan. Bahkan konon, dalam satu riwayat, Nabi menyebutkan kalau Syeitan pun amat segan dengan Umar sehingga kalau Umar lewat di suatu jalan, maka Syeitan pun menghindar lewat jalan yang lain. Terlepas dari kebenaran riwayat terakhir ini, yang jelas keperkasaan Umar sudah menjadi buah bibir di kalangan umat Islam. Karena itu kalau Umar sampai menangis tentulah itu menjadi peristiwa yang menakjubkan.

Mengapa "singa padang pasir" ini sampai menangis?

Umar pernah meminta izin menemui rasulullah. Ia mendapatkan beliau sedang berbaring di atas tikar yang sangat kasar. Sebagian tubuh beliau berada di atas tanah. Beliau hanya berbantal pelepah kurma yang keras. Aku ucapkan salam kepadanya dan duduk di dekatnya. Aku tidak sanggup menahan tangisku.

Rasul yang mulia bertanya, "mengapa engkau menangis ya Umar?" Umar menjawab, "bagaimana aku tidak menangis. Tikar ini telah menimbulkan bekas pada tubuh engkau, padahal Engkau ini Nabi Allah dan kekasih-Nya. Kekayaanmu hanya yang aku lihat sekarang ini. Sedangkan Kisra dan kaisar duduk di singgasana emas dan berbantalkan sutera".

Nabi berkata, "mereka telah menyegerakan kesenangannya sekarang juga; sebuah kesenangan yang akan cepat berakhir. Kita adalah kaum yang menangguhkan kesenangan kita untuk hari akhir. Perumpamaan hubunganku dengan dunia seperti orang yang bepergian pada musim panas. Ia berlindung sejenak di bawah pohon, kemudian berangkat dan meninggalkannya. "

Indah nian perumpamaan Nabi akan hubungan beliau dengan dunia ini. Dunia ini hanyalah tempat pemberhentian sementara; hanyalah tempat berteduh sejenak, untuk kemudian kita meneruskan perjalanan yang sesungguhnya.

Ketika anda pergi ke Belanda, biasanya pesawat akan transit di Singapura. Atau anda pulang dari Saudi Arabia, biasanya pesawat anda mampir sejenak di Abu Dhabi. Anggap saja tempat transit itu, Singapura dan Abu Dhabi, merupakan dunia ini. Apakah ketika transit anda akan habiskan segala perbekalan anda? Apakah anda akan selamanya tinggal di tempat transit itu?

Ketika anda sibuk shopping ternyata pesawat telah memanggil anda untuk segera meneruskan perjalanan anda. Ketika anda sedang terlena dan sibuk dengan dunia ini, tiba-tiba Allah memanggil anda pulang kembali ke sisi-Nya. Perbekalan anda sudah habis, tangan anda penuh dengan bungkusan dosa anda, lalu apa yang akan anda bawa nanti di padang Mahsyar.
Sisakan kesenangan anda di dunia ini untuk bekal anda di akherat. Dalam tujuh hari seminggu, mengapa tak anda tahan segala nafsu, rasa lapar dan rasa haus paling tidak dua hari dalam seminggu. Lakukan ibadah puasa senin-kamis. Dalam dua puluh empat jam sehari, mengapa tak anda sisakan waktu barang satu-dua jam untuk sholat dan membaca al-Qur'an. Delapan jam waktu tidur kita....mengapa tak kita buang 15 menit saja untuk sholat tahajud.

"Celupkan tanganmu ke dalam lautan," saran Nabi ketika ada sahabat yang bertanya tentang perbedaan dunia dan akherat, "air yang ada di jarimu itulah dunia, sedangkan sisanya adalah akherat"

Bersiaplah, untuk menyelam di "lautan akherat". Siapa tahu Allah sebentar lagi akan memanggil kita,dan bila saat panggilan itu tiba, jangankan untuk beribadah, menangis pun kita tak akan punya waktu lagi.

Kamis, 13 Maret 2008

Antara Ayah, Anak dan Burung Gagak

Pada suatu petang seorang tua bersama anak mudanya yang baru menamatkan pendidikan tinggi duduk berbincang-bincang di halaman sambil memperhatikan suasana di sekitar
mereka.

Tiba-tiba

seekor burung gagak hinggap di ranting pokok berhampiran.

Si ayah lalu menuding jari ke arah gagak sambil bertanya,
"Nak, apakah benda itu?"
"Burung gagak", jawab si anak.
Si ayah mengangguk-angguk, namun sejurus kemudian sekalilagi mengulangi pertanyaan yang sama.

Si anak menyangka ayahnya kurang mendengar jawabannya tadilalu menjawab dengan sedikit kuat,
"Itu burung gagak, Ayah!"

Tetapi sejurus kemudian si ayah bertanya lagi pertanyaan yang sama.
Si anak merasa agak keliru dan sedikit bingung denganpertanyaan yang sama diulang-ulang, lalu menjawab dengan lebih kuat, "BURUNG GAGAK!!"

Si ayah terdiam seketika. Namun tidak lama kemudian sekalilagi sang ayah mengajukan pertanyaan yang serupa hingga membuat si anak hilang kesabaran dan menjawab dengan nada yang kesal kepada si ayah, "Itu gagak, Ayah."

Tetapi agak mengejutkan si anak, karena si ayah sekali lagi membuka mulut hanya untuk bertanya hal yang sama.
Dan kali ini si anak benar-benar hilang sabar dan menjadi marah.

"Ayah!!! Saya tak tahu Ayah paham atau tidak. Tapi sudah 5 kali Ayah bertanya soal hal tersebut dan saya sudah juga memberikan jawabannya. Apa lagi yang Ayah mau saya katakan???? Itu burung gagak, burung gagak, Ayah.....", kata si anak dengan nada yang begitu marah.

Si ayah lalu bangun menuju ke dalam rumah meninggalkan si anak yang kebingungan. Sesaat kemudian si ayah keluar lagi dengan sesuatu di tangannya.
Dia mengulurkan benda itu kepada anaknya yang masih geram dan bertanya-tanya. Diperlihatkannya sebuah diary lama.

"Coba kau baca apa yang pernah Ayah tulis di dalam diary ini," pinta si Ayah.

Si anak setuju dan membaca paragraf yang berikut.
"Hari ini aku di halaman melayani anakku yang genap berumurlima tahun. Tiba-tiba seekor gagak hinggap di pohon berhampiran. Anakku terus menunjuk ke arah gagak dan
bertanya, "Ayah, apa itu?"

Dan aku menjawab, "Burung gagak."
Walau bagaimana pun, anakku terus bertanya soal yang serupa dan setiap kali aku menjawab dengan jawaban yang sama.
Sehingga 25 kali anakku bertanya demikian, dan demi rasa cinta dan sayangku, aku terus menjawab untuk memenuhi perasaan ingin tahunya.
Aku berharap hal ini menjadi suatu pendidikan yang berharga untuk anakku kelak."

Setelah selesai membaca paragraf tersebut si anak mengangkat muka memandang wajah si Ayah yang kelihatan sayu.

Si Ayah dengan perlahan bersuara, " Hari ini Ayah baru bertanya kepadamu soal yang sama sebanyak 5 kali, dan kau telah hilang kesabaran serta marah."

Lalu si anak seketika itu juga menangis dan bersimpuh di kedua kaki ayahnya memohon ampun atas apa yg telah ia perbuat.

Minggu, 09 Maret 2008

Gangguan Juga Bermanfaat

Gangguan Juga Bermanfaat

Saya adalah pekerja keras, saya berorientasi hasil, dan bekerja dengan determinasi yang tinggi. Dan saya menikmati setiap yang saya lakukan. Namun, saya merasa sering kecewa saat saya mendapatkan gangguan selagi bekerja. Namun itu dulu, sekarang saya malah senang mendapat gangguan. Mengapa?

Gangguan justru malah membuat hati saya lebih senang. Saat putri saya mengganggu, ternyata ini adalah sebuah hiburan yang tidak terhingga saat otak saya sedang panas-panasnya membuat buku, artikel, atau bahan pelatihan. Saat putri saya datang dan mengganggu, saya menjadi ada kesempatan untuk bercanda dulu, untuk suatu penyegaran baik fisik dan pikiran saya. Sekarang saya malah bersyukur suka mendapat gangguan dari putri saya, karena membuat kerja selanjutnya lebih dinikmati.

Gangguan bisa diibaratkan saat mobil mengisi bensin. Memang, dengan mengisi bensin mobil akan berhenti dan perjalanan akan terganggu. Namun setelah mengisi bensi, mobil sudah memiliki cadangan energi untuk menempuh perjalanan yang lebih jauh lagi. Begitu juga dengan kita, gangguan bisa diibaratkan sebagai saat kita mengisi kembali energi.

Bersyukurlah jika ada teman sekantor mengganggu Anda saat bekerja, mungkin inilah saat Anda harus berisitirahat sejenak. Berikan senyuman saat teman Anda menginterupsi pekerjaan Anda karena dia minta pertolongan atau sekedar meminjam penajam pensil.

Dalam ilmu NLP diketahui bahwa energi dipengaruhi oleh emosi, dan cara mengubah emosi ialah dengan mengalihkan fokus kita. Jika kita sudah memiliki paradigma bahwa gangguan itu menyenangkan, maka saat ada orang yang mengganggu Anda, maka fokus Anda sekarang pada hal-hal yang menyenangkan dan energi Anda akan bertambah kembali.

Hal ini akan bermanfaat untuk mempererat relasi dengan teman sekerja. Mereka akan senang kepada Anda, karena meski mereka mengganggu Anda, Anda malah menanggapinya dengan baik. Maka jangan heran, saat Anda membutuhkan bantuan mereka, Anda akan mendapatkannya dengan mudah.

Nasi Sudah Menjadi Bubur

Nasi Sudah Menjadi Bubur

Saat keterlanjuran sudah berlalu, kita sering mengatakan “Nasi sudah menjadi bubur”. Betulkah ungkapan ini? Atau sekedar mencari pembenaran untuk tidak memperbaiki yang sudah ada? Insya Allah setelah membaca cerita berikut, kita akan memiliki pandangan berbeda terhadap suatu keterlanjuran.

Seorang mahasiswa kuliahnya tidak serius. Kadang masuk kuliah kadang tidak, tugas terbengkalai, SKS yang harus dikejar masih banyak, dan jarang sekali belajar. Begitu ditanya ternyata dia merasa terjebak masuk ke jurusan yang dipilihnya karena dia hanya ikut-ikutan saja. Teman-temannya masuk jurusan tersebut, dia pun ikut.

“Mengapa kamu tidak pindah saja?” tanya temannya, Budi.

“Ah, biarlah, nasi sudah menjadi bubur” jawabnya, tidak peduli.

“Apakah kamu akan tetap seperti ini?”

“Mau gimana lagi, saya bilang nasi sudah jadi bubur, tidak bisa diperbaiki lagi.” jawabnya berargumen.

“Kalau kamu pindah kejurusan yang kamu sukai, kan kamu akan lebih enjoy.” kata temannya.

“Saya ini sudah tua, masa harus kuliah dari awal lagi. Saya terlambat menyadari kalau saya salah masuk jurusan.” jelasnya sambil merebahkan diri di kasur dan mengambil remote control TV-nya.

“Memang tidak ada yang bisa kamu lakukan lagi?” selidik temannya.

“Tidak, saya sudah katakan berulang-ulang nasi sudah jadi bubur.”

Temannya pun diam sejenak, dia bingung melihat temannya yang sudah tidak semangat lagi. Kemudian dia teringat pada temannya yang memiliki nasib yang sama, salah memilih jurusan. Dia pun pulang ke rumahnya kemudian menelpon temannya tersebut.

“Jaka, perasaan kamu pernah cerita sama saya, kalau kamu salah memilih jurusan?” tanya Budi kepada Jaka.

“Memang saya salah memilih jurusan, memangnya kenapa?” jawab Jaka.

“Yang saya heran, kenapa kamu tetap semangat kuliah, sedangkan teman saya malah malas dan tidak serius kuliahnya.”

“Yah nggak tahu yah, saya juga dulu sempat seperti itu. Tapi sekarang sudah tidak lagi.” jelas Jaka.

“Apa sich resepnya?”

“Pertama saya merelakan diri masuk jurusan ini. Mungkin ini yang terbaik menurut Allah. Jadi saya terima saja.”

“Terus?” kata Budi bersemangat

“Yang kedua, saya mencari cara menggabungkan ilmu yang saya miliki dijurusan ini, dengan hobi saya. Ternyata saya menjadi enjoy saja. Memang, saya terlanjur memilih jurusan ini, kata orang, nasi sudah jadi bubur. Tetapi kalau saya, nasi sudah menjadi bubur ayam spesial yang enak dan lebih mahal harganya ketimbang nasi.”

“Oh gitu….”

“Yah, kalau kita menyesali tidak ada manfaatnya. Kalau kita berusaha mengubah bubur jadi nasi, itu tidak mungkin. Satu-satunya cara ialah membuat bubur tersebut menjadi lebih nikmat, saya tambahkan ayam, ampela, telor, dan bumbu. Rasanya enak dan lebih mahal” jelas Jaka sambil tersenyum lebar.