Kamis, 01 Januari 2009

Keputusan Tanpa Kebimbangan

Keputusan Tanpa Kebimbangan

Oleh Mukhamad Najib

Ini cerita tentang Lukman dan anaknya, yang mungkin sudah sering kita dengar. Kisah ini menarik bagi mereka yang selalu dilemma dalam mengambil keputusan, selalu bimbang dalam menentukan pilihan, atau selalu bingung dengan pertanggungjawaban ketika keputusan telah ditetapkan.

Lukman bukanlah seorang nabi, tapi Allah begitu memuliakannya, sehingga kisahnya, perkataannya, dan ajarannya banyak diabadikan dalam Alqur’an. Bahkan Allah swt memberinya gelar Al Hakim, yang artinya bijaksana. Lukman diabadikan dalam alquran sebagai manusia yang bijaksana dan penuh hikmah, yang bisa kita jadikan teladan bersama.

Suatu hari Lukman ingin mengajarkan sebuah hikmah pada anaknya, lalu ia mengajak anaknya ke pasar untuk menjual keledainya. Berangkatlah Lukman, anaknya, dan keledai itu. Lukman naik diatas keledai, sementara anaknya berjalan menuntun keledai. Ditengah jalan mereka berpapasan dengan sekelompok orang. Orang-orang itu mencibir Lukman, ”dasar orang tua mau enaknya sendiri, umur banyak tapi otak sedikit, lihat, ia enak-enakkan di atas keledai sedangkan anaknya ngos-ngosan berjalan di tengah padang pasir yang terik.”

Mendengar kritik pedas ini, Lukman turun, menyuruh anaknya menggantikan posisinya di atas keledai. Bapak dan anak ini lalu melanjutkan perjalanan. ”Anak tak tau diri, ia santai di atas keledai sementara orang tuanya berjalan kaki. Anak durhaka!” kata seorang yang sedang duduk di sebuah warung yang mereka lewati. Mereka berhenti sejenak, berfikir, akhirnya sepakat naik keledai bersama. Perjalanan berlanjut. ”Hahahahaha…dasar edan, tak punya pri-kebinatangan, tak punya rasa kasihan. Binatang begini kecil, begini ringkih, dinaikki dua orang yang sebesar gajah!? apa kata dunia?” cela seorang yang melihat mereka berdua diatas keledai.

Lalu mereka turun dari keledai. Anaknya mengusulkan bagaimana kalau keledai itu digotong saja. Lukman setuju. Diikatlah kaki keledai, yang depan dan belakang. Kemudian diantara kaki keledai itu mereka masukkan sebatang kayu untuk menggotong. Mereka berjalan lagi. Keledai itu sekarang terbalik posisinya, kaki diatas kepala dibawah, meronta-ronta dalam gotongan Lukman dan anaknya. Melihat hal ini, orang semakin pedas omongnya. ”Apa kalian memang benar-benar gila? Keledai hidup kok digotong seperti mati?”

Lalu mereka menurunkan keledai dan melepas ikatannya. Sekarang Lukman, anaknya, dan keledai berjalan bersama. Apa yang terjadi? Seorang yang mereka temui malah berkomentar, ”Dasar bapak dan anak sama bodoh dengan keledainya. Ada kendaraan kok gak dinaiki?”

Kisah mengenai Lukman di atas mungkin juga sering kita alami. Kita sering mengahadapi situasi yang serba salah. Maju kena mundur kena, begitu kira-kira. Dikantor misalnya, terlalu aktif mengundang kecemburuan rekan kerja, terlalu pasif menyebabkan respek atasan berkurang. Berbuat baik juga begitu. Terang-terangan dibilang pamer, sembunyi-sembunyi malah mengundang fitnah.

Elit-elit politik Islam saat ini juga mengalami kebimbangan-kebimbangan dalam menentukan pilihan. Memajukan calon sendiri dibilang nekat dan eksklusif, terlibat dalam koalisi dibilang terlalu ambisi pada kursi. Menghadapi partner koalisi yang sewenang-wenang juga bimbang. Berteriak dibilang emosional dan sekedar cari sensasi, diam dibilang tidak memiliki bargaining dan harga diri. Dalam menentukan partner koalisi juga bimbang, ikut calon yang berpeluang menang paling besar kader dan konstituen kecewa, ikut calon yang keluarganya "islami" takut tidak dapat posisi karena peluang menangnya jauh dari pasti.

Sebenarnya kebimbangan-kebimbangan ini tidak perlu terjadi jika nasihat Lukman terhadap anaknya diteladani. Dari kisah di atas, Lukman mengajarkan hikmah pada anaknya mengenai bagaimana seharusnya mengambil keputusan dan bagaimana bersikap atas keputusan yang telah diambil. Kepada anaknya Lukman mengatakan ,“wahai anakku, sesungguhnya tiada terlepas seseorang itu dari percakapan manusia. Maka orang-orang berakal tiadalah dia mengambil pertimbangan melainkan kepada Allah SWT saja. Barang siapa mengenal kebenaran, itulah yang harus menjadi pertimbangannya”.

Menjadikan Allah sebagai satu-satunya pertimbangan sesungguhnya membuat jiwa tenang dan jauh dari kebimbangan. Bukankan setiap keputusan kelak akan dipertanggungjawabkan kepada Nya? Bukankan hanya Allah yang kuasa atas baik dan buruk, bahagia dan bencana, sulit dan mudah maupun tenang dan gelisah? Bukankan Allah sendiri telah memberikan Al kitab yang didalamnya tidak ada keraguan petunjuk bagi orang-orang yang beriman?

Sayid Qutb dalam bukunya “ma’alim fi thariq (petunjuk jalan)” mengatakan “tidak ada dilemma bagi mereka yang memiliki nilai dan prinsip yang jelas”. Saya sepakat dengan hal ini, bahwa hanya mereka yang tidak punya prinsip yang selalu bingung dan bimbang oleh berbagai pilihan dan hanya mereka yang tidak punya nilai yang selalu gelisah oleh berbagai tawaran. Dan Lukman telah mengajarkannya, bukan hanya untuk anaknya, melainkan juga untuk kita semua.

Sebagai mana dikatakan Lukman "Barang siapa mengenal kebenaran, itulah yang harus menjadi pertimbangannya”. Persoalannya sejauh mana mereka mengenal dan menggunakan pertimbangan kebenaran? wallahu'alam

Tidak ada komentar: