Selasa, 28 April 2009

Harga Senyum

Indahnya bunga. Keindahannya mampu melahirkan aneka keindahan baru. Wewangian yang menyegarkan. Juga, keserasian bentuk dan warna yang menakjubkan dan menenteramkan. Sayangnya, tiupan angin kerap membuat bunga terkoyak. Keindahannya pun menjadi pudar.

Betapa nikmatnya hidup kala mampu membuat orang-orang tercinta tetap tersenyum. Bahagia, damai. Hidup menjadi begitu bergairah. Seberat apa pun beban kehidupan, demi senyum, akan terasa ringan.

Sayangnya, tidak semua orang mampu mencetak senyum untuk waktu yang lama. Selalu saja ada badai yang membuat jalan hidup tak lagi seperti di jalan tol. Muncullah kerikil-kerikil masalah. Bahkan, koral-koral konflik yang siap mengoyak senyum untuk waktu yang cukup lama.

Seperti itulah bayang-bayang rasa Pak Deden. Sepuluh hari sudah ia nyaris tak mendapati senyum-senyum yang biasa hinggap dalam pandangannya. Senyum orang-orang yang ia cintai. Semua hampir terkubur bersamaan dengan kecelakaan mobil yang ia alami.

Sejak itulah, Pak Deden tak lagi bisa menjalankan bisnisnya. Dokter pernah bilang kalau ia baru bisa benar-benar sembuh dari patah tulang kaki dan tangan sekitar empat hingga lima bulan. Itu pun dengan catatan. Ia tak lagi bisa tampil seperti dulu. Ada cacat tubuh yang harus ia terima untuk waktu yang cukup lama. Mungkin tahunan. Atau, sama sekali tak pernah sembuh.

Masalahnya, bukan bertumpu pada sakit dan cacat. Insya Allah, Pak Deden menerima itu sebagai musibah. Ia harus terima ketentuan Allah itu dengan lapang dada. Tanpa protes. Apalagi buruk sangka.

Tapi, bisnis percetakan yang baru beberapa bulan ia geluti menanti hak. Sebagian besar modalnya berasal dari pinjaman. Jumlahnya lumayan besar, hampir dua ratus juta rupiah. Gimana mungkin bisa ia kembalikan, kalau bisnis itu tak lagi bisa ia tangani. Padahal, ia sudah terlanjur janji kalau modal itu bisa ia kembalikan dalam waktu setahun. Dan tenggat itu tinggal beberapa bulan.

Belum lagi buat biaya pengobatan. Mobil satu-satunya sudah terjual buat biaya rumah sakit. Pak Deden merasa tak ada lagi yang bisa ia uangkan, kecuali motor dan dua sepeda anak-anaknya. Kalau rumah tak mungkin. Soalnya tanah dan rumah berukuran seratus meter itu masih milik orang tua.

Pak Deden benar-benar bingung. Pusing. Kalau saja bukan karena keimanan, ia ingin lari saja dari dunia ini. Ia ingin pergi jauh sekali. Dan tak akan pernah kembali.

Sesekali ia menatap lekat isteri dan dua anaknya. Setiap kali tatapan itu jatuh ke wajah mereka, pantulan sedih dan susah mengoyak hati Pak Deden. Nyaris, tak ada lagi senyum menghias wajah manis isterinya. Tak ada lagi senyum canda anak-anaknya yang masih sekolah dasar. Semuanya seperti tersulap, hilang dalam sekejap.

Dua minggu yang lalu, pemandangan itu tak pernah terbayang Pak Deden. Masih segar dalam ingatanya, bagaimana di hari Ahad terakhir itu ia berlibur ke kawasan puncak. Indah. Keindahan alam itu belum seberapa dibanding dengan pemandangan senyum-senyum yang terukir dari balik bibir isteri dan anak-anaknya. Kedengarannya begitu renyah. Membuat arena hidup jadi begitu berwarna. Sebuah harga yang teramat mahal untuk sebuah keluarga.

Masih terbayang bagaimana Pak Deden berlari-lari mengejar si bungsu yang baru bisa bersepeda. Larinya kian bersemangat saat sang anak mengeluarkan tawa riang. “Terus…, goes terus, Nak!” suara Pak Deden sambil terus berlari dengan kakinya yang masih sehat.

Masih segar dalam ingatan Pak Deden bagaimana ketika ia pulang membawa televisi baru. Tak seorang pun yang tak senyum kala itu. Sambil berjingkrak kecil, kedua anaknya menemani sang ayah membuka kardus. Saat itu juga, isteri tercintanya menghampiri. “Lancar bisnisnya, Yah?” suara sang isteri sambil ikut melihat. Perlahan, Pak Deden membuka pembungkus televisi baru itu dengan kedua tangannya yang sehat.

Kini, kaki dan tangannya tak lagi seperti dulu. Jangankan mampu membuahkan senyum, menggerakkannya pun sudah susah. Justru, kaki dan tangannya menjadi bahan tangis orang-orang yang ia cintai itu.

Andai, ia tak terlalu ngebut waktu itu. Andai ia menuruti nasihat isterinya. Andai…. “Astaghfirullah,” suara Pak Deden beriring nafasnya yang mulai tak beraturan. Ia berusaha menutup rapat pintu-pintu setan. Semua kehendak Allah. Akan selalu ada kebaikan di balik itu. Lagi-lagi, Pak Deden beristighfar. Mungkin, ada salah yang tak ia sadari.

Mata Pak Deden menyapu sekeliling ruangan. Sepi. Hari menjelang siang seperti itu memang biasa sepi. Kecuali, isterinya yang saat ini mulai mengajar. Kedua anaknya masih sibuk-sibuk di sekolah. Ah, kayak apa air muka mereka saat ini. Pak Deden mencoba menangkap kesan. “Semoga mereka tetap tersenyum. Semoga, hidayah Allah memberkahi senyum-senyum hati mereka. Semoga, masih banyak senyum di balik jendela lusa,” ucap Pak Deden dalam hati.

Menatap senyum memang tak ubahnya seperti menikmati indahnya bunga. Segar, menenangkan. Namun, bukan salah angin bertiup kencang. Dan bukan dosa angin yang membuat bunga terkoyak. Kitalah yang mesti cermat menggali. Dengan cara apa lagi, bunga senyum lain bisa hadir kembali.

sumber : www.eramuslim.com
Yusuf Li-Taghyiir An-Nafsy's blog
http://www.pencerahanhati.com/yusuf99/blog/6108/

Tidak ada komentar: